Senin, 06 September 2010

maafkan aku

Ayah, sebenarnya lidah ini ingin berkata . Namun apa daya, sesak hati menghilangkan kuasaku atas raga . Air mata ini mengalir bukan karena menangisi engkau, tapi karena aku mengutuk diriku sendiri, menyalahkan Tuhan atas takdirku, takdir menjadi anak laki – lakimu.

Sapuan sesal terus menerpaku, mengalahkan hujaman angin yang tersibak oleh laju cepat motorku . Pandanganku kosong, pikiranku melayang ke dalam malam yang sunyi . Banyak hal yang aku pikirkan, banyak . Mungkin karena aku tak pernah membuang serpihan kertas ingatan, dan jikalau kurangkai tak akan pernah membentuk suatu kenangan . Aku tak ingat apa yang kulakukan semasa kecil, hanya imajinasiku mengarang – ngarang, membuatku percaya bahwa apa yang kulakukan dulu tak jauh berbeda dengan yupa tetanggaku yang baru masuk bangku sekolah dasar tahun lalu .

Di dalam pembaringanmu, hatiku teriris pedih . Kau telah lapuk dimakan usia, namun kau tempuh jarak yang jauh, dan betapa tidak beruntungnya engkau, selama lima jam harus berdiri karena tidak ada tempat duduk lagi . Itulah pengorbananmu ayah, demi menemui aku, anakmu yang merantau karena bosan mendengarkan nasehatmu, yang lelah menerima amarahmu, dan sakit karena tak merasakan kasih sayang seorang ibu, tapi aku tak pernah mengatakan itu, aku selalu mengatakan bahwa ini semua demi cita – cita ku .

Lampu merah, aku hampir menerobos tanpa menyadarinya . Merah, sebuah warna yang mengingatkanku pada kejadian di masa lalu. Sebelum kau pergi untuk bekerja kau selalu memberiku sebuah permen kaki berwarna merah, mungkin hanya itu yang mampu kau berikan. Kau bekerja siang dan malam, tak pernah kau berada disisiku, kau biarkan aku merasa sendiri setiap hari, di dalam kontrakan yang kecil dimana tidak ada televisi, dan tidak ada mainan yang dapat aku rusakkan . Suatu ketika pernah aku menggunakan wajan, panci, dan peralatan masak lainnya sebagai kapal – kapalan, lantas kau memarahiku, memukul pantatku, tanpa ada sedikit penjelasan darimu .

Dulu aku menyalahkan sikap dan perbuatanmu, namun kini aku tersadar betapa berat dan besar beban yang harus kau pikul. Kau sendiri tanpa ada pendamping hidup disisimu, mengasuh diriku yang bebal dan nakal . Layaknya Sersan Kasim, sorang sersan yang membawa anaknya maju ke medan perang karena istrinya telah meninggal dunia setelah mengerahkan tenaga terakhirnya untuk melahirkan acep anak semata wayangnya dan ia merasa bertanggung jawab atas nasib yang akan menimpa acep ketika ia menyerahkannya kepada orang lain, aku rasa seperti itulah engkau ayah .

Dua jam sebelum kau pergi kau berkata “Nak, Ayah tak akan memaksakan kehendak padamu , ayah hanya ingin kau memiliki hidup yang lebih baik, hanya itu” Setelah mengatakan itu ayah memintaku untuk mengantarnya pulang . Seketika itu pula, saraf simpatikku berfungsi, jantungku berdenyut cepat, diameter pembuluhku mengecil, wajahku memucat . Aku diam, benar – benar diam tanpa kata . Jam 10 tadi malam kau tiba disini, sekarang belum genap jam 9 pagi kau memintaku mengantarmu pulang .Tuhan, aku sungguh menyesal mengirim sms itu. Sms yang memberitahukan sakitku, Sms yang menyebabkan ayah datang menjengukku .

Aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan mengecewakan engkau lagi, aku tidak akan berbuat hal – hal yang memalukan, aku tak akan mendapatkan nilai pelajaran dibawah 7 lagi dan aku akan mewujudkan cita – citaku, agar kau dapat sedikit bangga atas anak mu ini, ayah .

Rumah putih dengan pagar biru, ku masukan motorku kedalam garasi . Aku berjalan perlahan menaiki tangga menuju kelantai dua, ketika aku akan memasuki kamar, ku urungkan niatku, ku naiki tangga lagi dan sampai aku di beranda . Ku arahkan mataku jauh kearah stasiun, dimana ayahku berada . Aku hirup nafas dalam – dalam dan berteriak “ Terimakasih Ayah . . . “ Itulah kata – kata yang ingin kukatakan sedari tadi . Maafkan aku ayah, aku tidak cukup hebat dan berani untuk mengatakan itu .

Hujan turun dengan deras mengikuti hilangnya gema suaraku . Titik – titik air itu menyatu menutupi air mataku . Aku tengadahkan kepalaku, kulihat bayangan wajah tuamu yang tersenyum dari gelapnya gumpalan awan – awan. Maafkan aku ayah, maafkan aku yang tak pernah mengatakan selamat ulang tahun kepadamu, yang tak tahu bagaimana engkau dan ibu bertemu, yang tak pernah berbakti sekalipun kepadamu . Maafkan anak semata wayangmu ini ayah, maafkan aku yang hanya tahu namamu dan statusmu sebagai ayahku, tidak lebih dari itu . Maafkan aku . . .

0 komentar:

Posting Komentar